Friday, February 22, 2013

Alasan membenci dokter


Waktu: 5-7 menit

SALAM

Tulisan tangan saya jelek. Begitu jeleknya, sampai-sampai saya yakin dengan modal secarik kertas kecil berisi beberapa baris pendek tulisan tangan saya, Anda bisa mendapatkan puyer yang diracik di apotek. Tapi kalau Anda keracunan atau mati setelah minum racikan itu, samasekali ndak saya rencanakan.

JEDA SEJENAK

Tulisan tangan saya, kata beberapa teman, memang seperti resep dokter. Cuma apoteker yang bisa baca. Padahal, selain tidak punya tampang dokter, saya bahkan membenci dokter. Bayangkan saja. Saya dibesarkan oleh orang tua yang tidak pernah berurusan dengan dokter. Ayah saya sampai usia tuanya selalu menolak ke dokter. Hanya karena sakitnya sudah sangat parah dan komplikatif, beliau mau dirawat di RS dan ditangani langsung oleh satu tim yang isinya beberapa dokter spesialis.

Tapi, Anda tahu? Dua hari setelah dia  ditangani olehtim  dokter itu, ayah saya malah meninggal.

JEDA SEJENAK.

Saya punya lebih banyak lagi alasan yang sangat pribadi untuk membenci profesi itu. Khususnya dokter gigi. Ceritanya begini. Lima tahun lalu, salah satu gigi di sisi kanan rahang atas terasa ngilu jika udara dingin. Karena ndak tahan sakitnya, saya ke klinik seorang dokter gigi partikelir. Dokter giginya, kalau ndak salah ingat Artanti. Berfikir sambil bergumam. Eh, bukan. Namanya dokter Bambang. Artanti itu asistennya.

Dari hasil foto sinar X rahang saya, dokter Bambang itu menemukan salah satu gigi saya berongga di bagian dalam mahkotanya, meskipun dari luar terlihat utuh.

“Gigi ini sebaiknya dicabut,” kata dokter Bambang.

“Nanti saya ompong, dong,” kata saya agak keberatan. Maklum, rasanya waktu itu saya masih terlalu muga untuk ompong.

JEDA SEJENAK

“Jangan kuatir,” kata dokter Bambang. “Nanti bisa dipasang gigi palsu. Saya punya banyak pilihan. Yang ini sejuta, ini tiga juta, itu empat juta.”
“Kalau yang ujung itu berapa, Dok?”
“Ini tujuh juta.”

BERGUMAM; Mentang-mentang yang orisinil 'ndak mungkin tumbuh lagi, yang KW mahalnya minta ampun. Nha, ini dokter gigi apa salesman yang sedang kejar setoran?

JEDA SEJENAK

Akhirnya saya memutuskan gigi ndak dicabut agar tetap utuh. Saya hanya mau minum obat berdasar resep dokter Bambang.

Setahun kemudian, mahkota gigi saya yang tadi akhirnya berlubang juga. Ngilunya bukan kepalang. Apalagi kalau ada serpihan makanan masuk ke dalam lubang gigi itu. Maka saya memutuskan ke poli gigi di rumah sakit tadi. Sekali lagi, saya ditangani dokter Bambang.

JEDA SEJENAK

Setelah memeriksa sebentar dan memasukkan sesuatu ke lubang gigi saya, dokter Bambang memberi saya resep untuk ditebus di apotek. Dia bilang, itu painkiller untuk mengurangi ngilu jika kambuh lagi dalam waktu dekat.
“Setelah tiga hari, datang lagi ke sini untuk cabut gigi ya,” katanya.
Tiga hari kemudian saya datang lagi ke RS menemui dokter Bambang.
“Bagaimana?”
“Gigi saya sudah tidak sakit, Dok.”
Tapi dasar dokter gigi, meskipun gigi saya tidak lagi terasa sakit, ia tetap mencabutnya. Dan saya masih juga harus membayar ongkosnya yang mahal.

JEDA SEJENAK

Tapi, sakit pasca pencabutan lebih parah daripada sebelumnya.
Mungkin karena saya terus saja terbayang-bayang saat membayar ongkosnya di kasir.

JEDA SEJENAK

Itu belum selesai. Setahun yang lalu, gigi di sisi kanan rahang atas ngilu benar jika dipakai mengunyah. Lalu saya memutuskan datang ke poli gigi di RSU. Saya berharap third time lucky. Mudah-mudahan tidak ketemu dokter Bambang. Saat itu, baru ada satu dokter gigi yang datang. Kali ini saya beruntung. Dokternya perempuan. Namanya Dokter Linggar.
“Ah, ini karena gingsulnya,” kata dokter Linggar. Agar ndak ngilu saat makan, katanya, gigi yang gingsul harus dicabut. Akhirnya, atasnama kenikmatan saat menikmati makanan, saya merelakan gigi itu dicabut.

JEDA SEJENAK

Dari RSU, saya pulang dengan perasaan aneh yang sama seperti saat saya gigi saya yang dulu itu dicabut. Gusi yang terluka disumpal dengan kapas, agar bleedingnya segera mampat. Saat itu memang tidak sakit. Cuma rasanya pengin muntah melulu. Selain itu, bibir saya terasa lebih tebal dari biasanya. Seperti habis berciuman mouth to mouth dengan pasangan yang terlalu bersemangat. 

JEDA SEJENAK

Itu pengalaman yang cukup traumatis bagi saya. Mosok setiap ingin sembuh dari sakit gigi, saya harus kehilangan gigi.

JEDA SEJENAK.

BERGUMAM: Coba kalau saat itu kepala saya yang sakit. 

Gunakan mesin ketik


Waktu: 3-5 menit

SALAM

Dari dulu saya suka menulis. Apa saja saya tulis, sekadar untuk kesenangan belaka. Mulai dari puisi, cerpen sampai surat cinta. Sewaktu SMP, saya bahkan sering ditraktir jajan oleh teman laki-laki karena menuliskan surat cinta mereka untuk teman perempuan sebaya kami.

Baru saat saya kuliah, tepatnya setelah tahu beberapa teman kuliah ternyata menghasilkan uang dari menulis, sayapun tertarik untuk mencoba menulis lebih serius. Itu lebih dari seperampat abad lalu. Tetapi, ketika itu, jangankan mendapatkan uang, saya bahkan tidak berani menunjukkan tulisan saya kepada orang lain. Masalahnya sungguh serius; setiap kali membaca ulang naskah yang sudah selesai, saya tidak bisa memahami tulisan saya sendiri. 

JEDA SEJENAK

Karena sangat resah oleh hal itu, sayapun curhat kepada pacar saya.
“Coba kulihat contoh tulisanmu yang sudah selesai. Satu judul saja,” katanya. Dengan ragu-ragu saya menyerahkan empat lembar kertas ukuran A4 berisi tulisan terbaru. Setelah lima menit membaca dengan kening berkerut, dia mengembalikan naskah itu.

“Bagaimana?” Saya bertanya.

Pacar saya, hanya menjawab singkat saja. “Mulai besok, gunakan mesin ketik.”