Waktu: 5-7 menit
SALAM
Tulisan tangan saya jelek. Begitu jeleknya, sampai-sampai saya yakin dengan modal secarik kertas kecil berisi beberapa baris pendek tulisan tangan saya, Anda bisa mendapatkan puyer yang diracik di apotek. Tapi kalau Anda keracunan atau mati setelah minum racikan itu, samasekali ndak saya rencanakan.
SALAM
Tulisan tangan saya jelek. Begitu jeleknya, sampai-sampai saya yakin dengan modal secarik kertas kecil berisi beberapa baris pendek tulisan tangan saya, Anda bisa mendapatkan puyer yang diracik di apotek. Tapi kalau Anda keracunan atau mati setelah minum racikan itu, samasekali ndak saya rencanakan.
JEDA SEJENAK
Tulisan tangan saya, kata beberapa teman, memang seperti resep
dokter. Cuma apoteker yang bisa baca. Padahal, selain tidak punya tampang
dokter, saya bahkan membenci dokter. Bayangkan saja. Saya dibesarkan oleh orang
tua yang tidak pernah berurusan dengan dokter. Ayah saya sampai usia tuanya
selalu menolak ke dokter. Hanya karena sakitnya sudah sangat parah dan
komplikatif, beliau mau dirawat di RS dan ditangani langsung oleh satu tim yang
isinya beberapa dokter spesialis.
Tapi, Anda tahu? Dua hari setelah dia ditangani olehtim dokter itu, ayah saya malah meninggal.
Tapi, Anda tahu? Dua hari setelah dia ditangani olehtim dokter itu, ayah saya malah meninggal.
JEDA SEJENAK.
Saya punya lebih banyak lagi alasan yang sangat pribadi
untuk membenci profesi itu. Khususnya dokter gigi. Ceritanya begini. Lima tahun
lalu, salah satu gigi di sisi kanan rahang atas terasa ngilu jika udara dingin.
Karena ndak tahan sakitnya, saya ke klinik seorang dokter gigi partikelir. Dokter
giginya, kalau ndak salah ingat Artanti. Berfikir
sambil bergumam. Eh, bukan. Namanya dokter Bambang. Artanti itu asistennya.
Dari hasil foto sinar X rahang saya, dokter Bambang itu
menemukan salah satu gigi saya berongga di bagian dalam mahkotanya, meskipun
dari luar terlihat utuh.
“Gigi ini sebaiknya dicabut,” kata dokter Bambang.
“Nanti saya ompong, dong,” kata saya agak keberatan. Maklum, rasanya waktu itu saya masih terlalu muga untuk ompong.
JEDA SEJENAK
“Jangan kuatir,” kata dokter Bambang. “Nanti bisa dipasang
gigi palsu. Saya punya banyak pilihan. Yang ini sejuta, ini tiga juta, itu
empat juta.”
“Kalau yang ujung itu berapa, Dok?”
“Ini tujuh juta.”
BERGUMAM; Mentang-mentang yang orisinil 'ndak mungkin tumbuh lagi, yang KW mahalnya minta ampun. Nha, ini dokter gigi apa salesman yang sedang kejar setoran?
JEDA SEJENAK
Akhirnya saya memutuskan gigi ndak dicabut agar tetap utuh.
Saya hanya mau minum obat berdasar resep dokter Bambang.
Setahun kemudian, mahkota gigi saya yang tadi akhirnya
berlubang juga. Ngilunya bukan kepalang. Apalagi kalau ada serpihan makanan
masuk ke dalam lubang gigi itu. Maka saya memutuskan ke poli gigi di rumah
sakit tadi. Sekali lagi, saya ditangani dokter Bambang.
JEDA SEJENAK
Setelah memeriksa sebentar dan memasukkan sesuatu ke lubang
gigi saya, dokter Bambang memberi saya resep untuk ditebus di apotek. Dia
bilang, itu painkiller untuk mengurangi ngilu jika kambuh lagi dalam waktu
dekat.
“Setelah tiga hari, datang lagi ke sini untuk cabut gigi
ya,” katanya.
Tiga hari kemudian saya datang lagi ke RS menemui dokter Bambang.
“Bagaimana?”
“Gigi saya sudah tidak sakit, Dok.”
Tapi dasar dokter gigi, meskipun gigi saya tidak lagi terasa
sakit, ia tetap mencabutnya. Dan saya masih juga harus membayar ongkosnya yang
mahal.
JEDA SEJENAK
Tapi, sakit pasca pencabutan lebih parah daripada sebelumnya.
Mungkin karena saya terus saja terbayang-bayang saat membayar ongkosnya di kasir.
JEDA SEJENAK
Itu belum selesai. Setahun yang lalu, gigi di sisi kanan
rahang atas ngilu benar jika dipakai mengunyah. Lalu saya memutuskan datang ke poli
gigi di RSU. Saya berharap third time
lucky. Mudah-mudahan tidak ketemu dokter Bambang. Saat itu, baru ada satu
dokter gigi yang datang. Kali ini saya beruntung. Dokternya perempuan. Namanya
Dokter Linggar.
“Ah, ini karena gingsulnya,” kata dokter Linggar. Agar ndak
ngilu saat makan, katanya, gigi yang gingsul harus dicabut. Akhirnya, atasnama
kenikmatan saat menikmati makanan, saya merelakan gigi itu dicabut.
JEDA SEJENAK
Dari RSU, saya pulang dengan perasaan aneh yang sama seperti
saat saya gigi saya yang dulu itu dicabut. Gusi yang terluka disumpal dengan
kapas, agar bleedingnya segera mampat. Saat itu memang tidak sakit. Cuma
rasanya pengin muntah melulu. Selain itu, bibir saya terasa lebih tebal dari
biasanya. Seperti habis berciuman mouth
to mouth dengan pasangan yang terlalu bersemangat.
JEDA SEJENAK
Itu pengalaman yang cukup traumatis bagi saya. Mosok setiap
ingin sembuh dari sakit gigi, saya harus kehilangan gigi.
JEDA SEJENAK.
BERGUMAM: Coba
kalau saat itu kepala saya yang sakit.